Salah Siapa?

20 Mei, hari yang selalu diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Sejujurnya, saya tidak tahu sebenarnya apa makna dari hari kebangkitan nasional itu sendiri? Sejak saya lahir hingga sekarang, saya tidak merasakan bangsa ini bangkit sedikitpun, yang ada malah makin terpuruk. Ada satu pertanyaan yang selalu muncul di kepala saya ketika saya memikirkan keterpurukan bangsa ini: “Apakah ini salah pemerintah atau justru salah rakyatnya sendiri?”

Saya tahu kinerja pemerintah saat ini memang tidak bisa dibilang baik. Tapi, apakah semua “pengamat” yang setiap hari selalu “mengkritisi” kinerja pemerintah itu pernah ada di posisi yang sama? Apakah mereka tahu bagaimana beratnya menjadi seorang presiden yang harus memimpin negara berpenduduk 250 juta jiwa? Saya juga tidak tahu bagaimana rasanya, tapi pastinya itu tidak mudah, ditambah lagi dengan tekanan bahwa seorang presiden tidak memiliki celah untuk salah sedikit pun dan dia juga harus memenuhi tuntutan rakyatnya, sekalipun tuntutan tersebut tidak rasional.

Tuntutan rakyat? Kalau saya boleh memilih mungkin saya lebih senang menggunakan kata rengekan dibanding tuntutan. Pernahkah Anda merasa sebagai seorang rakyat Anda selalu menuntut agar kehidupan Anda menjadi lebih baik padahal yang Anda lakukan sepanjang hari hanyalah mengeluhkan buruknya kinerja pemerintah dan bukan berusaha untuk memperbaiki kehidupan Anda? Pernahkah Anda merasa bahwa yang Anda lakukan sebagai rakyat hanyalah menunggu kebijakan pemerintah yang dapat meringankan beban hidup Anda dan bukan melakukan usaha untuk memperbaiki keadaan bangsa ini? Kalau saya boleh bicara jahat kepada semua rakyat yang selalu merengek agar pemerintah menurunkan harga bahan bakar, bahan pokok, atau bahan apapun itu yang membantu kehidupan, saya akan bilang “Siapa suruh tidak mau berusaha. Siapa suruh tidak mau belajar.” Kasar memang, tapi sadarkah kalian kalau saja kalian mau sedikit saja berusaha, taraf hidup kalian pasti akan meningkat. Kalau saja seluruh orang tua di negara ini lebih memilih untuk membiayai anaknya sekolah dibandingkan untuk menghabiskan separuh penghasilannya untuk membeli rokok, Kalau saja semua anak yang cukup beruntung untuk mengecap bangku sekolah mau untuk memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin dan bukan justru menghabiskan waktu untuk bolos sekolah atau bermain dengan telepon selulernya saat guru menjelaskan, mungkin keadaan negara ini tidak seburuk sekarang, mungkin.

Sistem pemerintahan di negara ini memang sudah kepalang hancur berantakan. Saya tidak yakin pemerintah bisa memperbaiki keseluruhan sistem dalam waktu yang singkat, 100 tahun pun belum tentu cukup untuk merombak ulang seluruh sistem pemerintahan. Satu yang saya tahu pasti, mental masyarakat yang pemalas, penuntut dan mau enaknya saja juga tidak akan memperbaiki keadaan. Tolong rakyat Indonesia, berhentilah menjadi penuntut, berusahalah, perbaiki kehidupan kalian dengan usaha kalian sendiri, jangan hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah. Kasihanilah negeri kalian ini.

Maafkan semua ke-sok tahu-an saya. Maafkan semua omong kosong saya. Semua ini hanya akumulasi kekesalan saya. Akumulasi kekesalan saya disaat saya harus duduk berjam-jam mendengarkan massa kampus berdebat tentang menyelenggarakan aksi untuk mengkritisi pemerintah yang mana aksi itu dilaksanakan di waktu kuliah dan sebagian besar dari mereka setuju dengan aksi tersebut dan memilih untuk tidak kuliah. Akumulasi kekesalan saya disaat saya harus menyaksikan siaran televisi yang kontennya selalu tentang keburukan pemerintah, bahkan terkadang kesalahan kecil yang dibesar-besarkan. Dan juga akumulasi kekesalan saya terhadap diri saya sendiri yang masih tidak bisa melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan ini.

Leave a comment